1. Aspek Hukum Bahan Tambahan Makanan (BTM) pada Jajanan Anak
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga merupakan komoditas perdagangan, memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang etis, jujur, & bertanggung jawab sehingga terjangkau oleh masyarakat. Pangan dalam bentuk makanan & minuman adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, & reproduksi. Dalam pasal 1 UU no.7/1996, disebutkan bahwa “Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati & air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, & bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, & atau pembuatan makanan atau minuman”. Makanan jajanan anak merupakan sumber potensial yang mempunyai nilai komoditas & menunjang perekonomian dalam jalur informal karena banyak jajanan anak yang dibuat dalam skala kecil sebagai industri rumahan. Jajanan anak telah menjadi bagian dari keseharian anak. Hampir semua anak diberi uang jajan oleh orang tuanya. Padahal, belum tentu jajanan yang tersedia itu sesuai dengan standar mutu & jaminan bahwa jajanan tersebut aman & layak untuk dikonsumsi.
Saat ini, sangat banyak produsen jajanan anak yang tidak memperhatikan keamanan produknya. Mereka lebih memikirkan keuntungan yang dihasilkan, yaitu dengan modal sekecil-kecilnya tetapi mendapatkan untung yang sebesar-besarnya dengan tanpa memperhatikan aspek keamanan & keselamatan konsumen. Contohnya, saat ini banyak sekali jajanan anak yang mengandung bahan-bahan berbahaya seperti zat pewarna yang dilarang yaitu pewarna tekstil seperti rodamin, kuning metanil, dst. Sebagian lagi ada yang mengandung boraks & formalin. Selain itu, pemanis buatan seperti siklamat & sakarin, juga pengawet benzoat melebihi ambang batas. Pemakaian bahan kimia ini sangat berbahaya bagi kesehatan & apabila dikonsumsi dalam jangka waktu lama atau berlebihan jumlahnya sehingga bisa memicu timbulnya berbagai macam penyakit, termasuk penyakit kanker. Sedangkan secara jangka pendek, penggunaan zat-zat tersebut akan menimbulkan efek mual & sakit kepala. Badan POM & Depkes sendiri telah menetapkan aturan tentang Bahan Tambahan Makanan melalui Permenkes no.722/1998. Menurut Badan POM, saat ini pada lebih dari 60 persen makanan yang dijual di TKK & SD memiliki kandungan zat-zat berbahaya. Menurut pasal 1 (4) UU no.7/1996 menyatakan bahwa “Keamanan Pangan adalah kondisi & upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, & benda lain yang dapat mengganggu, merugikan & membahayakan kesehatan manusia.” Jadi, sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan berbagai aturan & larangan untuk melindungi masyarakat dalam masalah makanan, termasuk jajanan anak.
Pada kenyataannya, masih banyak jajanan anak yang melanggar peraturan tanpa diketahui oleh konsumen. Kali ini, akan dibahas mengenai aspek hukum keamanan jajanan anak. Kita dapat lihat bahwa untuk menghasilkan produk makanan sehat bermutu harus menggunakan bahan makanan tambahan (BTM) yang aman & diizinkan oleh Badan POM. Penggunaan BTM dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai, baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Karena dampak dari penggunaannya dapat berakibat positif maupun negatif bagi konsumen. Penyimpangan dalam pemakaiannya dapat membahayakan kesehatan konsumen. Salah satu permasalahan keamanan pangan yang masih memerlukan pemecahan yaitu penggunaan BTM. BTM banyak digunakan pada jajanan yang umumnya diproduksi oleh industri kecil/rumah tangga. Contohnya, banyak jajanan anak yang dijual mengandung monosodium glutamat (MSG) untuk penyedap masakan. MSG jika digunakan dalam jangka waktu lama juga dapat menyebabkan kanker, bahkan kematian. Selain itu, MSG dapat memicu reaksi alergi seperti gatal-gatal & muntah, & asthma, juga gangguan hati & kesulitan belajar.
Selain itu, salah satu jajanan anak yang paling laris adalah bakso yang diduga banyak mengandung formalin & boraks sebagai bahan pengawet & menjadikan bakso lebih kenyal. Makanan yang mengandung formalin & boraks dapat mengakibatkan gangguan pencernaan seperti nyeri perut, muntah-muntah, gangguan sistem syaraf, & gangguan sirkulasi jantung/darah. Formalin & boraks sendiri biasanya digunakan untuk mengawetkan mayat, pembasmi hama, & penghilang bau. Dalam dosis tinggi, formalin bisa menyebabkan kejang, sulit buang air kecil, muntah darah, kerusakan ginjal, & kematian. Juga, banyak jajanan yang menggunakan pemanis buatan. Pemanis buatan yang sering digunakan sebagian besar adalah pemanis buatan jenis sakarin & siklamat. Pemanis sakarin & siklamat tersebut merupakan jenis pemanis yang lebih ditujukan bagi penderita kencing manis (diabetes melitus) atau mereka yang sedang diet rendah kalori. Penggunaan sakarin yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Selain itu, untuk menarik minat anak untuk membeli jajanan, banyak produsen juga menggunakan zat pewarna tekstil yang membahayakan kesehatan.
Aspek Hukum Penggunaan BTM Penggunaan BTM dalam jajanan anak perlu diwaspadai, baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Penyimpangan dalam pemakaian BTM dapat membahayakan. Perbuatan ini harus dicegah & ditindak secara tegas oleh pemerintah yang memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya dari penggunaan BTM yang tidak sesuai peraturan. Dari penelitian Badan POM, dari 163 sampel jajanan anak yang diambil di 10 provinsi, sebanyak 80 sampel (sekitar 50%) tidak memenuhi baku mutu keamanan pangan. Jajanan yang bermasalah itu mengandung boraks, formalin, zat pengawet ilegal, zat pewarna tekstil, penyedap rasa & pemanis buatan dalam jumlah berlebih, juga menggunakan garam yang tidak beryodium. Oleh karena hal tersebut, kita membutuhkan pangan yang aman untuk dikonsumsi, bermutu, & bergizi. Kebijakan keamanan pangan & pembangunan gizi nasional merupakan bagian kebijakan pangan nasional termasuk penggunaan bahan tambahan makanan. Badan POM telah melakukan sosialisasi penggunaan BTM yang diizinkan dalam proses produksi makanan & minuman sesuai UU No. 23/1992 untuk aspek keamanan pangan, & UU No. 71/1996. Di sana diatur aspek keamanan mutu & gizi pangan, juga mendorong perdagangan yang jujur & bertanggung jawab serta terwujudnya tingkat kecukupan pangan yang terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, & kemandirian konsumen untuk melindungi diri dari dampak negatif yang ditimbulkan barang & jasa, termasuk pangan, ada UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tujuan seluruh peraturan-peraturan tersebut adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat terhadap penggunaan BTM yang dapat membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, industri pangan perlu mewaspadai masalah penggunaan BTM.
Beberapa produk hukum lain telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam upaya mendapatkan pangan yang aman & berkualitas untuk dikonsumsi oleh masyarakat di antaranya adalah PP no.28/2004 tentang keamanan, mutu & gizi pangan, juga Depkes mengeluarkan permenkes no. 722/1998 tentang bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam pangan. Permenkes ini sesuai dengan Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) WHO yang mengatur & mengevaluasi standar bahan tambahan makanan, melarang penggunaan bahan tersebut pada makanan. Aturan ini diteruskan oleh Badan Pengawasan Obat & Makanan yang sekarang diserahi tanggung jawab untuk pengawasan seluruh produk makanan yang beredar di masyarakat. Pilar yang berperan dalam keberhasilan untuk mendapatkan pangan yang aman dikonsumsi adalah pemerintah, produsen, & konsumen. Pemerintah merupakan pilar utama untuk penyediaan pangan yang aman. Pemerintah dengan seluruh kewenangan yang dimilikinya dapat membuat aturan & memaksa semua pihak untuk menaati aturan tersebut. Kewenangan pengawasan dimiliki oleh pemerintah melalui Badan POM. Dalam pasal 53 UU Pangan, dinyatakan bahwa untuk mengawasi pemenuhan ketentuan undang-undang, pemerintah berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan. Pemerintah Daerah juga bertanggungjawab terhadap ketersediaan pangan yang aman bagi masyarakat, sesuai pasal 60 UU Pangan. Pelanggaran para produsen terhadap berbagai peraturan perundangan tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, juga dapat disebabkan oleh faktor kurangnya pengetahuan mengenai peraturan & penegakan hukum oleh aparat yang kurang konsisten.
Pelaksanaan & penegakan hukum dalam hal keamanan pangan kurang berjalan dengan baik. Hal ini tampak dari tidak adanya penindakan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku terhadap para pelaku pelanggaran keamanan pangan. Pemerintah nampaknya kurang serius untuk menegakkan hukum pada para produsen golongan kecil yang termasuk kelompok masyarakat ekonomi bawah dengan tingkat pendidikan yang rendah. Padahal, sanksi yang diterapkan pada mereka yang menggunakan bahan berbahaya berdasarkan pasal 55 UU Pangan cukup berat, yaitu hukuman penjara maksimal 5 (lima) tahun atau didenda maksimal enam ratus juta rupiah. Masyarakat sebenarnya juga diberi kewenangan oleh pasal 51 UU Pangan untuk berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan perlindungan konsumen pangan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam rangka penyempurnaan & peningkatan sistem pangan, masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan, & pemecahan mengenai hal-hal di bidang pangan. Dari pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa peran serta masyarakat sangat diperlukan sebagai pendeteksi awal dari keberadaan bahan kimia tambahan dalam makanan, dalam hal ini, kejelian masyarakat selaku konsumen sangat diperlukan. Masyarakat harus teliti dalam memastikan kandungan yang ada sesuai dengan label. Hal ini diperlukan karena banyak kasus keracunan makanan adalah akibat bahan pengawet, akibat rendahnya kewaspadaan konsumen. Lengahnya konsumen diperparah oleh sumber daya manusia yang masih rendah & faktor daerah yang harus diawasi juga terlalu luas.
Sedangkan kendala lainnya yaitu dalam mengawasi penggunaan bahan pengawet adalah peredaran bahan kimia bagi industri makanan rumahan yang jumlahnya sangat besar. Keracunan yang paling banyak disoroti biasanya yang sifatnya jangka pendek. Namun, jarang sekali dipersoalkan dampak makanan yang mengandung BTM yang dapat mengancam manusia dalam waktu jangka yang panjang. Seperti, kerusakan organ tubuh setelah mengkonsumsi makanan tertentu. Secara hukum, belum tegas dinyatakan untuk memberikan sanksi pada efek jangka panjang karena pembuktiannya sulit dilakukan. Untuk itu, harus ada upaya dari semua pihak untuk memahami pentingnya menghindari keracunan, baik yang bisa dikenali langsung, maupun dalam jangka panjang. Dalam hal ini, pemerintah harus menegakkan hukum secara tegas yang dapat memberikan efek jera bagi mereka yang melanggar hukum & membahayakan kesehatan masyarakat. Menurut PP no.69/1999 tentang label & iklan, disebutkan bahwa setiap produk yang diperdagangkan harus mencantumkan komposisi bahannya. Sehingga, produsen bisa melanggar pasal 8 UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa pangan yang diperjualbelikan harus mencantumkan komposisi bahan & berat bersihnya. Setiap konsumen berhak memperoleh informasi yang benar & jelas mengenai komposisi bahan makanan. Jika melanggar UU tersebut, maka pelaku usaha (produsen , distributor , & pedagang) yang terlibat diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun & denda pidana maksimal 2 miliar rupiah.
Dalam rangka peningkatan pengamanan & pengawasan zat pewarna makanan, penandaan khusus harus dicantumkan pada label pewarna makanan. Sebagai pelaksanaan pasal 14 permenkes no.22/1988 tentang bahan tambahan makanan, dalam keputusan kepala Badan POM tentang tanda khusus pewarna makanan yang dalam pasal 1 (1) dijelaskan bahwa tanda khusus adalah tanda dengan bentuk tertentu yang harus tertera secara jelas pada kemasan tanda dengan bentuk tertentu yang harus tertera secara jelas pada kemasan atau bungkus luar pewarna makanan, sehingga pewarna makanan tersebut dapat mudah dikenali.
Pada pasal 2 (2) dijelaskan bahwa kemasan pewarna makanan harus dicantumkan secara jelas tanda khusus untuk pewarna makanan. Sedangkan pada pasal 2 (2) disebutkan bahwa selain tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sesuai dengan permenkes no.79/1978 tentang label & periklanan makanan serta permenkes no.722/1988 tentang BTM, pada kemasan atau bungkus luar pewarna makanan harus dicantumkan:
a. Tulisan “bahan tambahan makanan” & “pewarna makanan”.
b. Nama pewarna makanan
c. Nomor indeks
d. Komposisi untuk produk campuran
e. Berat bersih
f. Kode produksi
g. Takaran penggunaannya dalam makanan
h. Nomor pendaftaran produk
i. Nama & alamat perusahaan
j. Nomor pendaftaran produsen
Untuk pemanis buatan, berdasarkan Keputusan Kepala Badan POM RI no. HK.00.05.5.1.454 tentang Persyaratan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam produk pangan pada pasal 6 mengenai ketentuan label sebagai berikut:
1. Produk pangan yang menggunakan pemanis buatan harus mencantumkan jenis & jumlah pemanis buatan dalam komposisi bahan atau daftar bahan pada label.
2. Pemanis buatan dalam bentuk sediaan, pada label harus mencantumkan:
a. Nama pemanis buatan
b. Jumlah pemanis buatan dalam bentuk tabel dinyatakan dengan miligram (mg) & dalam bentuk granul atau serbuk dinyatakan dengan miligram (mg) dalam kemasan sekali pakai.
c. Acceptable Daily Intake (ADI), kecuali bagi pemanis buatan yang tidak mempunyai ADI.
d. Peringatan: tidak digunakan untuk bahan yang akan dimasak/dipanggang.
3. Wajib mencantumkan peringatan fenilketonuria: mengandung fenilanalin, yang ditulis & terlihat jelas pada label jika makanan/minuman/sediaan menggunakan pemanis buatan aspartam.
4. Wajib mencantumkan peringatan: konsumsi berlebihan dapat mengakibatkan efek laksatif, yang ditulis & terlihat jelas pada label jika makanan/minuman/sediaan menggunakan pemanis buatan laktitol atau manitol atau sorbitol, yang apabila diyakini dikonsumsi lebih dari 20 gram manitol per hari atau 50 gram sorbitol per hari.
5. Klaim yang diperoleh & dapat ditulis pada label adalah:
a. Tidak menyebabkan karies gigi
b. Pangan rendah kalori & pangan tanpa penambahan gula apabila produk pangan memenuhi syarat produk pangan rendah kalori sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
c. Pangan untuk penderita diabetes atau pernyataan lainnya sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (5)
Adapun pelanggaran terhadap ketentuan dalam keputusan di atas dapat dikenai sanksi berupa:
1. Sanksi administratif:
a. peringatan tertulis
b. Pencabutan izin edar
c. Penarikan & pemusnahan prodsuk pangan yang mengandung pemanis buatan yang sudah beredar.
2. Sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Jadi, untuk menghasilkan produk-produk makanan sehat & bermutu harus menggunakan BTM yang aman untuk dikonsumsi & diizinkan badan POM. Dalam hal ini penggunaan BTM, tentunya tidak terlepas dari aspek-aspek pemilihan & penetapan, pembelian, aplikasi, cara mendapatkannya, & ketersediaan bahan tambahan makanan.
oleh: Billy N. billy@hukum-kesehatan.web.id
2. PELANGGARAN IKLAN ROKOK
Pada beberapa hari ini, masalah iklan di luar ruangan (billboard) di kawasan Kota Surabaya banyak disorot oleh berbagai media dan masyarakat, pemasangan iklan billboard disinyalir tidak mengindahkan estetika keindahan Kota Surabaya, akibatnya kawasan Surabaya bagaikan ‘Hutan Iklan’ yang ditumbuhi ‘pohon-pohon iklan’ secara liar, sehingga membuat semrawut Kota Surabaya. Ternyata pada “kasus iklan”, selain mengganggu estetika keindahan kota, iklan-iklan yang tersebar di berbagai kawasan Kota Surabaya juga melanggar hukum. Pelanggaran hukum ini terjadi pada sebagian besar iklan-iklan yang memasang produk rokok. Iklan rokok, sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Dalam PP ini, pengaturan mengenai iklan diatur secara khusus dalam bagian Iklan dan Promosi, pada pasal 18 menyebutkan materi iklan rokok dilarang untuk ; Pertama, iklan rokok dilarang menyarankan atau merangsang orang untuk merokok. Kedua, menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat bagi kesehatan. Ketiga, memajang orang lagi menghisap rokok diharamkan. Keempat, mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah rokok (menampilkan batang dan bungkus rokok). Kelima, iklan rokok harus mencantumkan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan, yaitu “ Merokok dapat menyebabkan kanker, jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Tidak tanggung-tanggung, pelaku usaha yang melanggar aturan ini, menurut PP 38/2000 pasal 37, pelaku usaha dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling banyak seratus juta rupiah. Selain dalam PP 38/2000, Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, juga mengatur iklan rokok. Pada pasal 13 disebutkan, iklan rokok tak boleh memvisualisasikan batang atau asapnya. Bila melanggar aturan dapat dipidana, didenda, atau keduanya sekaligus. Dalam pelaksanaannya, ternyata banyak iklan rokok yang menabrak aturan ini. Berdasarkan survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada Oktober hingga November 2000, diketahui banyak iklan rokok, khususnya di media luar ruangan yang melanggar, indikasinya masih banyak iklan rokok yang menampilkan adegan orang merokok, memvisualisasikan batang dan bungkusnya serta tidak mencantumkan peringatan bahaya merokok, kalaupun mencantumkan, masih menggunakan model lama “Peringatan pemerintah : merokok dapat merugikan kesehatan” (Gatra, edisi 27 Januari 2001). Sementara iklan rokok di kawasan Surabaya, berdasarkan pengamatan kasat mata, situasinya tidak terlalu jauh berbeda. Bahkan untuk menindaklanjuti berbagai pelanggaran ini, Komnas Penanggulangan Masalah Merokok (PMM) dan YLKI mengajak masyarakat untuk melakukan somasi kepada pelaku usaha yang terkait dengan pelanggran iklan rokok ini. Tentunya kita sempat bertanya dalam hati, mengapa iklan rokok harus diatur super ketat seperti sekarang ini ? Ada baiknya kita mengetahui raison d’etre-nya agar kita lebih arif dan bijaksana dalam menilai situasi ini. Sedikitnya ada beberapa kondisi yang dapat menjelaskan mengapa iklan rokok perlu diatur secara lugas dan tegas. Pertama, sikap tegas dalam aturan iklan rokok bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya merokok dengan memberikan informasi yang benar tentang rokok. Menurut data Depkes RI, kematian akibat penyakit yang berkaitan dengan rokok di Indonesia mencapai angka 57.000 per tahun, sementara pertumbuhan perokok di Indonesia yang merupakan tertinggi di dunia, yaitu 44 persen dari tahun 1996-1997. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai pengonsumsi rokok terbanyak, dengan 188 miliar batang pertahun. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menemukan sedikitnya 3,5 juta manusia mati atau 10.000 per hari. Untuk tahun 2020, dapat mencapai 10 juta orang akan mati akibat rokok, dimana 80 persen berasal dari negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia yang dapat mencapai 7 juta jiwa pada 2030 (Jawa Pos, 14/3/00). Prediksi ini tidaklah berlebihan, mengingat pertumbuhan perokok di Indonesia tertinggi di dunia. Kedua, Iklan rokok ternyata punya peran penting dalam menentukan dan mendorong kebiasaan merokok pada masyarakat, seperti dalam polling Deteksi Jawa Pos (Maret 2000), menyebutkan paramuda merokok pertama kali salah satunya pendorongnya karena buaian iklan rokok yang ‘sangat merangsang’. Selama ini, iklan dan promosi rokok semakin tidak etis karena melakukan pembodohan dan indoktrinasi brand image yang luar biasa dalam mempromosikan rokok, karena dimana-mana masyarakat harus berjumpa dengan iklan-iklan rokok. Rokok digambarkan sebagai lambang kejantanan, kesuksesan, kenikmatan, kebebasan, kedewasaan dan lain-lain. Semuanya tidak menggambarkan kondisi nyata pada rokok, yang merupakan ‘pembunuh berdarah dingin’ pada manusia.
Dengan kata lain, pengaturan iklan rokok yang ditetapkan pemerintah sebagai upaya perlindungan konsumen sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Ketiga, Sebagai upaya penyelamatan ancaman the lost generation akibat dari rokok. Saat ini sekitar 1,1 miliar perokok di dunia, dan bila pola ini menetap akan meningkat menjadi 1,6 miliar di tahun 2025. Setiap harinya 80-100 ribu remaja di dunia menjadi pecandu dan ketagihan rokok. Bila pola ini terus menetap maka sekitar 250 juta anak-anak yang hidup sekarang ini akan meninggal akibat yang berhubungan dengan kebiasaan rokok. Ketiga alasan itulah, yang setidaknya mendasari pentingnya aturan iklan rokok, karena bila tidak ada aturan yang tegas seperti itu, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara smoking friendly. Negara yang ‘bersahabat’ dengan rokok mempunyai ciri khas antara lain; iklan rokok berkembang pesat, sementara kampanye anti rokok sangat kurang, pemerintah dan profesi kesehatan tidak serius menghadapi dampak rokok, opini dan artikel anti rokok di media massa jarang, dan merokok pun dianggap sebagai kebiasaan normal. Dibanding negara-negara lain, aturan tentang iklan rokok di Indonesia telah jauh tertinggal. Thailand sejak tahun 1979, iklan rokok telah dilarang dan diatur lewat Undang-Undang. Begitu juga di Bhutan, telah melarang total iklan rokok pada media cetak dan elektronik, sementara Srilanka melarang pengiklanan rokok pada media elektronik. Di California, Amerika Serikat, malah lebih ‘lucu’, mereka menggunakan media yang sama (media luar ruangan atau billboard) untuk melakukan kampanye anti rokok, gambar dan modelnya sama namun pesan atau isinya yang berbeda. Dengan cara ini, menurut laporan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) serta Depkes California menyatakan bahwa papan iklan anti rokok seperti itu punya andil besar memangkas jumlah penderita kanker paru-paru di California hingga 14 persen (Gatra, edisi 27 Januari 2001). Akhirnya, perlu disadari bahwa “Kesehatan Adalah Hak Asasi Manusia”. Oleh karena itu, akses informasi dan perlindungan terhadap bahaya rokok bagi kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat haruslah terjamin. Mengingat kesehatan, disamping pendidikan dan ekonomi, sangat menentukan kualitas sumber daya manusia. Memang tidak mudah dijalankan, tetapi kalau tidak dimulai sekarang, korban-korban akibat rokok akan terus berjatuhan.
•
Oleh. Rachmad Pua Geno
3. UU Pangan Harus Lindungi Petani Kecil
Undang-undang (UU) pangan harus melindungi petani kecil sebagai produsen pangan dan melindungi pasar lokal dan nasional. Hal tersebut dikemukakan Ketua Umum Henry Saragih pada kesempatan dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) di Jakarta (3/2). Seperti diketahui DPD RI berinisiatif untuk membuat undang-undang pangan yang baru pengganti UU No.7 tahun 1996. Lebih jauh Henry mengatakan, Rancanan Undang-undang (RUU) pangan ini hendaknya mengatur perlindungan terhadap produsen yang juga merupakan konsumen serta konsumen murni dengan proporsi yang lebih adil. RUU ini juga harus memasukan konsep Kedaulatan Pangan dalam pelaksanaanya. RUU pangan harus bisa menanggulangi pelemahan pangan Indonesia yang semakin terasa dengan keterikatan terhadap berbagai peraturan-peraturan inetrnasional. “Saat ini surplus beras dan wacana ekspor beras menjadi wacana politis semata, bukan dengan tujuan untuk menyejahterakan petani dan rakyat Indonesia secara umum,” tutur Henry. Dia juga mengemukakan bahwa inisiatif-inisiatif pemerintah daerah untuk membangun dan melindungi petani harus terus dimajukan karena petani merupakan mayoritas penduduk Indonesia yang merupakan produsen sekaligus konsumen pangan.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komnas HAM RI Ridha Saleh mengatakan masalah pagnan sangat terkait masalah ekonomi, sosial dan politik. Persoalan pangan juga merupakan persoalan akses sementara UU Pangan yang ada filosofinya justru membunuh akses. Ridha mengutip laporan PBB bahwa krisis pangan yang terjadi merupakan kejahatan atas kemanusiaan, mengingat besarnya laju konversi pangan untuk energi. Komnas HAM mencatat sepanjang tahun 2008 ada 4000 laporan kasus yang masuk dan 40% diantaranya merupakan konflik tanah, dan tanah ini terkait dengan produksi pangan. “Salah satu tugas Komnas HAM adalah melaporkan ke sidang HAM PBB mengenai harmonisasi kebijakan UU di Indonesia sejalan dengan ratifikasi Kovenan EKOSOB dan salah satunya ialah harmonisasi UU Pangan,” ujar Ridha.
• Perlu UU baru
Sementara itu, pimpinan sidang DPD Sarwono mengatakan bahwa dengan latar belakang melihat penandatangan Kovenan Ekosob yang disahkan dengan UU No.11 tahun 2005 maka ada kewajiban negara untuk memenuhi hak asasi manusia termasuk hak kecukupan atas pangan yang sesungguhnya belum ada operasionalnya. Dari seminar yang dilakukan di Palembang dan Jogja beberapa waktu sebelumnya DPD menyimpulkan perlunya membuat UU Pangan yang baru, bukan sekedar merevisi yang sudah ada. Lebih jauh, Sarwono melihat sejumlah kenyataan yang ada seperti kondisi pertanian Indonesia yang semakin menurun, terjadinya perubahan iklim dan perkembangan energi alternative biofuel menimbulkan kekhawatiran semakin langkanya pangan dan timbulnya kompetisi pangan untuk energi yang perlu diatur dengan baik. Disamping itu, ia juga melihat krisis pangan diatasi dengan investasi semata yang sungguh sangat berbahaya. Oleh karena itu, dia menilai UU No.7 tahun 1996 harus diganti menjadi UU baru bukan hanya direvisi karena dinilai tidak sesuai dengan konstitusi bangsa dan tidak mengakomodir kovenan EKOSOB. Ia juga menambahkan peraturan yang baru tersebut harus bisa selesai sebelum tahun 2010 sebagai batas waktu pelaporan harmonisasi kebijakan terhadap kovenan ekosob ke dewan HAM PBB.
• Otonomi Daerah dan Pengawasan Obat dan Makanan
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi perubahan tata pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Kewenangan bidang pemerintahan yang sebelumnya merupakan sepenuhnya pemerintah pusat sebagian besar bergeser menjadi kewenangan daerah kecuali untuk kewenangan di bidang : politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan lain-lain. Dengan berjalannya waktu Undang-Undang tersebut dirasakan kurang sesuai lagi lingkungan strategis yang ada yang secara dinamis terus berubah waktu demi waktu. Untuk menjawab perubahan tersebut dikeluarkan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan perubahan atas Undang-Undang 22 tahun 1999. Dalam Undang-Undang 32 tahun 2004 pasal 10 ayat (3) disebutkan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat adalah : politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama. Pada pasal 10 ayat (5) a. disebutkan bahwa dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah diluar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka pemerintah pusat menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan. Hal ini merupakan dasar hukum bagi pemerintah pusat untuk melakukan beberapa kewenangan lain yang tidak tercantum dalam ayat sebelumnya. Kewenangan lain yang dimiliki pemerintah pusat sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2000, adalah kewenangan dibidang Pertanian, Kelautan, Pertambangan dan Energi, Kehutanan dan Perkebunan, Perindustrian dan Perdagangan, Perkoperasian, Penanaman Modal, Kepariwisataan, Ketenagakerjaan, Kesehatan, Pendidikan dan Kebudayaan, Sosial, Bidang Penataan Ruang, Pertanahan, Permukiman, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Politik Dalam Negeri dan Administrasi Publik, Pengembangan Otonomi Daerah, Perimbangan Keuangan, Kependudukan, Olah Raga, Hukum dan Perundang-undangan dan Penerangan. Pada kewenangan lain tersebut di atas, salah satunya adalah kewenangan di bidang kesehatan yang meliputi : Penetapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi, Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan, Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan, Penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan, Penetapan pedoman penggunaan, konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman obat, Penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan, dan standar etika penelitian kesehatan, Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi, Penerapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran makanan, Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat, Survailans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan penanggulangan wabah, penyakit menular dan kejadian luar biasa, dan Penyediaan obat esensial tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan dasar sangat esensial (buffer stock nasional).
Badan Pengawas Obat dan Makanan sesuai Keputusan Presiden nomor 103 tahun 2001 bertanggungjawab melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Dari beberapa kewenangan yang ada di bidang kesehatan terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan tanggungjawab Badan Pengawas Obat dan Makanan yaitu penetapan pedoman penggunaan, konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman obat, pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi, dan penerapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran makanan. Dari uraian di atas terlihat bahwa dengan diberlakukannya otonomi daerah, namun pengawasan obat dan makanan tetap menjadi tanggungjawab dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. (Refleksi Terhadap Kurang Berdayanya Konsep Ketahanan Pangan Nasional). Meskipun dalam berbagai peraturan internasional maupun perundang-undangan nasional masalah kecukupan pangan yang sehat telah dijamin, namun masalah kelaparan masih tetap membayangi bangsa Indonesia. Kenaikan harga beras yang kian hari kian merangkak ke atas menambah buram catatan keterjangkauan pagan oleh masyarakat kalangan miskin. Kesepakatan internasional yang menjamin tentang hak untuk memperoleh pangan tersebut adalah DUHAM/UDHR, Pembukaan Konstitusi FAO, Konvenan ECOSOC Right/ICESCR dan RDWFS. Undang-undang dan peraturan di Indonesia yang menjamin terpenuhinya hak atas pangan tersebut adalah; UU No. 7/1996, Kepres No. 132/2001 tentang pembentukan Dewan Ketahanan Pangan Nasional, PP No. 68/2002. Ada beberapa inti pokok yang menjadi perdebatan mengenai konsep ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Jika pada konsep ketahanan pangan hanya memikirkan bagaimana pangan dapat dipenuhi dengan cara apa pun, termasuk mengimpor beras dari luar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, seperti yang telah diumumkan Wakil Presiden pada tanggal 13 Februari yang lalu, bahwa untuk menurunkan harga beras dan sebagai stok ketersediaan pangan pokok, yakni beras maka Indonesia akan mengimpor beras sejumlah 500,000 ton pada tahun 2007. Meskipun niat untuk import beras pada tahun 2006 lalu mendapat tentangan yang sangat keras dari kalangan petani dan masyarakat sipil, tahun ini pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan yang tidak populer di kalangan petani tersebut.
4. Ketahanan Pangan Vs Kedaulatan Pangan
Konsep kedaulatan pangan lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan oleh komunitas secara mandiri, berdaulat dan berkelanjutan. Kedaulatan pangan adalah hak setiap orang, kelompok-kelompok masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan pertanian, ketenaga-kerjaan, perikanan, pangan dan tanah, yang berwawasan ekologis, sosial, ekonomi dan budaya yang sesuai dengan kondisi khas dan kedaerahan mereka. Ini menyangkut hak yang sebenar-benarnya terhadap pangan dan produksi pangan, sehingga orang mempunya hak atas pangan yang aman, cukup gizi dan cocok dengan kondisi budaya setempat dan hak atas sumber-sumber daya untuk memproduksi pangan serta kemampuan untuk menjaga keberlanjutan hidup mereka dan masyarakatnya. Hal di atas telah dideklarasikan oleh 400 delegasi yang berasal dari organisasi petani, masyarakat adat, nelayan, LSM, aktivis sosial, akademisi dan peneliti dari 60 negara pada Pertemuan Dunia tentang Kedaulatan Pangan (World Forum on Food Sovereignty) di Havana, Kuba pada tanggal 3 sampai 7 September 2001. Konsep kedaulatan pangan ini kemudian dimatangkan pada Pertemuan Puncak Pangan Dunia (World Food Summit) pada tanggal 8 sampai 13 Juni 2002, di Roma, dihadiri oleh 700 organisasi masyarakat sipil dunia. Pemerintah Indonesia lebih cenderung menerapkan konsep ketahanan pangan dari pada konsep kedaulatan pangan.
Pembentukan Badan Ketahanan Pangan di bawah Departemen Pertanian, sampai ke tingkat Kabupaten merupakan penerjemahan dari Kepres 132/2001. Apa yang dicita-citakan dari pembentukan Badan Ketahanan Pangan ini, niat awalnya cukup baik. Kita lihat saja konsep Program Aksi Desa Mandiri Pangan (PADMP) yang diluncurkan tahun 2005, misalnya, di dalam kertas kerja konsep tersebut sangat baik dan cukup ideal, bahkan hampir sama dengan konsep kedaulatan pangan yang dicita-citakan masyarakat sipil dunia. PADMP yang dalam konsepnya, untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam suatu wilayah yang mempunyai keterpaduan sarana dan prasarana dari aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan rumah tangga. Membangun daerah pedesaan terutama dalam hal penyediaan bahan pangan untuk penduduk, penyediaan tenaga kerja untuk pembangunan, penyediaan bahan baku untuk industri dan penghasil komoditi untuk bahan pangan dan ekspor, merupakan sedikit perbedaan dengan konsep kedaulatan pangan. Namun dari segi tujuan program, yakni, meningkatkan ketahanan pangan dan gizi (mengurangi ketahanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendaya-gunaan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal pedesaan untuk mencapai tingkat kemandirian pangan desa. Tujuan ini sudah cukup baik.
Pada kenyataannya di lapangan personal (pegawai) yang duduk pada Badan Ketahanan Pangan sebagai pihak yang mengimplementasikan konsep menjadi wujud nyata ketahanan pangan di lapangan justru sama sekali kurang paham tentang ketahanan pangan, terutama di Kabupaten-Kabupaten. Ini terbukti ketika digelar beberapa seminar tentang kedaulatan pangan dan ketahanan pangan di beberapa kabupaten dan mengundang Badan Ketahanan Pangan Kabupaten sebagai peserta maupun sebagai pembicara. Hal yang lain yang agak ganjil ketika kita membaca tabel wilayah Kabupaten yang akan jadi sasaran program PADMP. Kita akan melihat betapa anehnya ketika Kabupaten yang selama ini tidak pernah terjadi kelaparan, bahkan cenderung dianggap sebagai kabupaten yang kaya masuk dalam daftar yang akan di sasar oleh program ini. Contoh yang paling dekan dapat kita lihat daftar pada tabel tersebut adalah Kabupaten Labuhan Batu di Sumatera Utara yang menempati urutan pertama yang 2 desa di dalamnya akan dijadikan wilayah desa mandiri pangan. Bukan daerah atau desa-desa yang selama ini kondisinya betul-betul mengalami kerawanan pangan yang dapat jatah untuk implementasi pemberdayaan konsep ini. Padahal dimaksudkan dalam konsep tersebut penerima manfaat adalah desa rawan pangan
• Kontradiksi 2 Konsep
Apa dan bagaimana kedua konsep ini? Mana yang lebih baik dan menguntungkan bagi masyarakat? Kelangsungan pangan yang sehat? Bagaimana aspek-aspek produksi? Aspek ekonomi, perdagangan, politik pangan, kesejahteraan petani? Untuk lebih dalam mengkaji hal ini, dan mana yang paling baik untuk diterapkan perlu melihat seperti apa sisi perbedaan kedua konsep tersebut dalam tabel di bawah ini: Aspek Perdagangan, pada Ketahanan Pangan; Perdagangan bebas dianggap segalanya atau satu-satunya jalan menuju kesejahteraan rakyat. Pada Kedaulatan Pangan; Pangan dan pertanian dilindungi perdagangan bebas. Aspek Tujuan utama produksi, pada Ketahanan Pangan; Budidaya tanaman pangan untuk komoditi perdagangan dan ekspor. Pada Kedaulatan Pangan; Budidaya aneka tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri dan pasar lokal. Aspek Harga, Pada Ketahanan Pangan; Terserah pasar (mekanisme pasar murni). Pada Kedaulatan Pangan; Harga yang adil, memperhitungkan biaya produksi, pendapatan buruh tani, keuntungan bagi petani kecil secara bermartabat.
Aspek Akses pasar, pada Ketahanan Pangan; Pasar luar negeri. Pada Kedaulatan Pangan; Akses ke pasar lokal dan menghentikan investasi pasar agribisnis. Aspek Subsidi, pada Ketahanan Pangan; Dilarang (namun AS dan UE memberikan subsidi yang besar kepada petaninya yang kaya). Pada Kedaulatan Pangan; Boleh selama tidak merusak pasar negeri lain. Justru diperlukan untuk petani kecil dan untuk mendukung pertanian berkelanjutan. Aspek Pangan, pada Ketahanan Pangan; Komoditas yang penting dan menguntungkan (komoditas perdagangan). Pada Kedaulatan Pangan; Kebutuhan dasar manusia, sehingga harus terjangkau dalam jumlah yang cukup sesuai budaya lokal dan produksi lokal (komoditas sosial). Aspek Pilihan Komoditas, pada Ketahanan Pangan; Satu pilihan komoditas untuk efisiensi ekonomi. Pada Kedaulatan Pangan; Pilihan jenis tanaman adalah hak penduduk pedesaan. Aspek Efek produksi, pada Ketahanan Pangan; Kelaparan karena rendahnya produksi pangan. Pada Kedaulatan Pangan; Masalah akses dan distribusi, karena kemiskinan dan ketidak-adilan. Aspek Daya tahan pangan, pada Ketahanan Pangan; Dicapai dari manapun (termasuk impor) asal harga murah. Pada Kedaulatan Pangan; Diproduksi sendiri oleh komunitas lokal, keanekaragaman pangan berdasarkan histori dan kultur daerah setempat, tidak memaksakan keseragaman pangan. Aspek Kontrol terhadap sumber produksi, pada Ketahanan Pangan; Diprivatisasi. Pada Kedaulatan Pangan; Lokal dan kontrol oleh komunitas. Aspek Benih, Pada Ketahanan Pangan; Komunitas yang dipatenkan. Pada Kedaulatan Pangan; Lokal, warisan yang menjadi milik bersama. Aspek Sumber modal produksi, pada Ketahanan Pangan; Dari bank suasta atau perusahaan. Pada Kedaulatan Pangan; Dari pemerintah yang dirancang untuk mendukung petani kecil, modal sendiri, arisan desa, atau serikat tolong menolong. Aspek Dumping, pada Ketahanan Pangan; Tidak begitu masalah. Pada Kedaulatan Pangan; Harus dilarang. Aspek Monopoli, pada Ketahanan Pangan; Tidak masalah. Pada Kedaulatan Pangan; Jadi sumber persoalan, harus dihilangkan. Aspek Penggunaan pestisida, racun, pupuk kimia dan rekayasa biologi/genetika, pada Ketahanan Pangan; Harapan masa depan. Pada Kedaulatan Pangan; Merusak ekologi dan kesehatan, tidak diperlukan. Sumber: Diadaptasi dan dikembangkan dari Peter Rosset, Food Sovereignty: Global Rallying Cry of Farmer Movement, Backgrounder, Vol. 9 Num. 4, 2003.
• Pilihan Lain
Kelihatannya dari segi kemandirian dan kemerdekaan menentukan pangan dengan berdaulat untuk menghempang politik pangan dunia yang cenderung pada orientasi bahwa semua sumber pangan adalah barang dagangan semata yang akan dapat memberi keuntungan yang besar jika diperdagangkan maka lebih baik kita gunakan konsep alternatif, yaitu kedaulatan pangan. Di mana penempatan prioritas terhadap produksi pangan untuk pasar lokal dan dalam negeri yang didasarkan pada keragaman keluarga-keluarga petani dan petani kecil serta sistem-sistem produksi pertanian yang berwawasan ekologis. Menjamin harga yang adil untuk petani, dalam arti adanya kekuatan untuk melindungi pasar internal dari dumping produk impor yang berharga rendah. Akses terhadap tanah, air, hutan, daerah perikanan dan sumber-sumber produktif lainnya melalui program re-distribusi sumberdaya yang seutuhnya, tidak melalui kekuatan pasar (reforma agrarian yang berorientasi pasar yang didukung oleh bank dunia). Penghargaan dan peningkatan peran perempuan dalam produksi pangan dan akses yang seimbang, termasuk dalam mengontrol sumber-sumberdaya produksi. Dilakukan juga pengawasan oleh masyarakat setempat terhadap sumber-sumber daya produktif yang berlawanan dengan kepemilikan tanah, air, sumber-sumber genetik dan sumber-sumber lainnya oleh perusahaan asing maupun perusahaan besar. Perlindungan benih sebagai dasar dari pangan dan kehidupan itu sendiri, dalam arti adanya pertukaran dan penggunaan benih secara bebas antar petani. Dengan demikian tidak ada paten terhadap makhluk hidup dan menghentikan (moratorium) terhadap tanaman hasil rekayasa genetika yang menyebabkan polusi genetika terhadap keanekaragaman genetika tanaman dan hewan. Investasi publik dalam rangka mendukung kegiatan produktif keluarga dan masyarakat yang mendorong terjadinya proses pemberdayaan, pengawasan lokal dan produksi pangan untuk rakyat dan pasar lokal.
Olehi: Iswan Kaputra (Deputi Direktur BITRA Indonesia & Anggota Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Nasional)
5. PROBLEM KRUSIAL RUU JPH
Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) kabarnya akan dipaksakan untuk disahkan dalam waktu dekat, bahkan kalau bisa menjadi semacam "hadiah Ramadhan". Anggota DPR ingin "kejar setoran". Beberapa ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga turut mendorong agar RUU ini segera disahkan. RUU ini sendiri relatif tidak mendapat perhatian dari masyarakat, sehingga tidak menjadi perdebatan publik yang mencerdaskan. Kamar Dagang Indonesia (Kadin) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI)diberitakan menolak RUU ini meskipun dengan alasan yang berbeda. Kadin menolak karena RUU ini akan memicu ekonomi biaya tinggi. Sedang MUI menolak karena kepentingannya untuk menjadi pemegang otoritas tunggal sertifikasi halal tidak diakomodasi dalam RUU JPH. Apakah secara substansial materi dari RUU ini memang sudah layak untuk disahkan? Penulis cenderung berpendapat belum saatnya, bukan saja karena RUU ini belum menjadi pembahasan publik, tapi secara substansial masih compang-camping. DPR tentu tidak mau, RUU yang disahkan terus menerus menjadi olok-olokan publik karena ketidakmatangan dalam membuat UU karena hanya mempertimbangkan kepentingan-kepentingan jangka pendek. Pertanyaan besar yang pertama muncul adalah apakah RUU JPH memang diperlukan mengingat Indonesia sudah mempunyai sejumlah regulasi menyangkut hal ini seperti UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan; UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di samping itu ada aturan-aturan di bawahnya seperti Keputusan Menteri Agama RI No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal; Keputusan Menteri Agama RI No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal; Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama dan MUI tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan Tahun 1996. Di luar itu, ada juga Peraturan Pemerintah (PP) No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan; PP No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan; SK Menteri Pertanian No. 557/kpts/TN.520/1987 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Unggas dan Usaha Pemotongan Unggas; SK Menteri Pertanian No. 413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya; SK Menteri Pertanian No. 745/Kpts/TN.240/12/1992 tentang Persyaratan dan Pengawasan Pemasukan Daging dari Luar Negeri. Regulasi-regulasi tersebut sebenarnya sudah memasukkan unsur "halal".
Namun demikian, aturan tersebut dipandang belum bisa menjamin dan melindungi umat Islam dari kemungkinan mengkonsumsi makanan yang dilarang. Mengapa? Karena regulasi tersebut masih dipandang parsial dan belum terintegrasi satu sama lain sehingga belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Karena itu diperlukan adanya instrumen hukum setingkat undang-undang untuk mengintegrasikan itu semua. Demikianlah argumen dalam Naskah Akademik yang disusun pemerintah untuk menegaskan mengapa RUU JPH diperlukan. Argumen ini tentu masih bisa diperdebatkan, namun yang jelas, secara implisit Naskah Akademik mengakui bahwa terkait dengan persoalan makanan halal tidak terjadi kekosongan hukum. Dengan demikian, kalau aturan-aturan yang disebutkan di atas dijalankan dengan benar, sebenarnya jaminan makanan halal bagi umat Islam sebenarnya sudah cukup. Namun demikian, saya memahami bahwa persoalan ini tidak bisa dijawab dengan menunjukkan regulasi-regulasi yang sudah ada, karena yang penting Indonesia harus punya UU JPH. Menolak RUU ini akan dengan mudah dituduh anti Islam. Memang begitulah situasi keberagamaan kita. Oleh karena itu, sikap realistis untuk menerima pembahasan RUU JPH agaknya lebih masuk akal daripada pasang "harga mati": menolak! Apapun isinya, RUU ini tidak bisa dibendung dan pasti disahkan. Meski demikian, saya juga memahami ada kelompok warga negara yang merasa kurang happydengan UU yang terlalu memberi porsi lebih kepada umat Islam, meskipun tidak semua dari kelompok ini mau bicara terus terang. Situasi seperti ini harus ditangkap oleh anggota DPR, kecuali kalau alarmkebangsaan mereka sudah redup. Dalam Naskah Akademik, dirumuskan lima dasar yang menjadi landasan mengapa RUU JPH dianggap penting.
Pertama, landasan filosofis. Dalam bagian ini, setelah mengutip pembukaan UUD 1945 dan sejumlah ayat al-Quran (QS. Al-Baqarah [2]: 168 dan 172) disebutkan bahwa halal dan haram merupakan sesuatu yang sangat prinsip dalam Islam, karena didalamnya terkait hubungan dengan Allah. Seorang muslim tidak dibenarkan mengkonsumsi makanan sebelum ia tahu benar kehalalannya. Dengan dasar tersebut, dapat dilihat bahwa sejak awal RUU JPH memang menggunakan dasar filosofi dalam Islam dan tidak dikaitkan dengan non-muslim. Dengan demikian, jika dalam ajaran non-muslim ada jenis makanan yang tidak boleh dikonsumsi tidak masuk dalam pembahasan RUU ini. Kedua, dasar sosiologis. Dalam bagian ini disebutkan, masyarakat Islam Indonesia sebagai mayoritas menyadari bahwa banyak produk yang diragukan kehalalannya karena tidak adanya petunjuk yang menandakan bahwa produk itu halal dikonsumsi atau digunakan. Karena itu, umat Islam mempunya hak konstitusional untuk memperoleh perlindungan hukum untuk mendapatkan produk sesuai dengan syariat Islam. Bila dicermati, argumen ini ingin menegaskan umat Islam sebagai mayoritas memang harus dilindungi dari kemungkinan mengkonsumsi yang diharamkan. Tidak ada masalah dari argumen ini karena kita tidak bisa menutup mata adanya produk-produk yang salah satu bahannya adalah sesuatu yang diharamkan. Tetapi kalau semua makanan harus diragukan kehalalannya hanya karena tidak ada label, menurut saya masih problematis, karena pada dasarnya semua makanan adalah halal kecuali yang memang jelas keharamannya. Demikian juga jika dikatakan tidak ada petunjuk, sebenarnya tidak seluruhnya benar, karena setiap produk punya kewajiban untuk mencantumkan bahan-bahan yang digunakan. Jika mereka tidak jujur, sudah ada UU yang bisa menjerat produsen nakal.
Ketiga, dasar yuridis. Terkait dengan dasar yuridis ini, dalam naskah akademik disebutkan, hingga kini belum ada perlindungan yuridis yang maksimal untuk melindungi umat Islam hidup sehat dan tidak terjebak dengan produk yang tidak halal. Dari semua peraturan, lanjut Naskah Akademik, tidak ada peraturan yang merujuk pada hadis Nabi SAW bahwa yang halal dan haram itu jelas, dan diantara keduanya adalah mutasyabihat. RUU JPH inilah yang akan menghalalkan yang mutasyabihat.Sebagai bagian dari landasan yuridis adalah pasal 28e ayat (1) dan pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang meletakkan kewajiban negara untuk melindungi warganya untuk melaksanakan keyakinan dan ajaran agama tanpa hambatan. Sedang regulasi yang sudah ada dianggap belum memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum serta pemenuhan hak asasi manusia.
Keempat, dasar psikopolitik masyarakat menyangkut penerimaan dan penolakan suatu RUU. Dalam kaitan ini disebutkan perlunya pelibatan dunia usaha agar mereka tidak menjadi kekuatan yang justru menolak RUU JPH karena beranggapan sistem jaminan halal akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Dan Kelima, dasar ekonomi. Hal ini terkait dengan perdagangan internasional dimana negara-negara maju pada umumnya sudah memiliki tanda arah (direction sign)bagi konsumen untuk mendapatkan makanan halal. Dengan demikian, jaminan produk halal sudah menjadi hal yang lumrah dalam tata niaga internasional. Karena itu, RUU JPH diasumsikan justru bisa mendorong daya saing produk nasional baik pada tingkat domestik yang mayoritas muslim maupun internasional. Dari paparan tersebut terlihat bahwa ada aspek-aspek yang masih bisa dipermasalahkan dari landasan RUU JPH. Namun, penulis tidak ingin mendiskusikan lebih jauh karena sekedar mendiskusikan naskah akademik masih terlalu abstrak. Karena itu, pada bagian kedua tulisan ini akan langsung masuk pada isu-isu penting dalam RUU JPH.[]
Sumber:Harian Seputar Indonesia, Sabtu 05 September 2009
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut